Pada
kesempatan kali ini, Ahmad Yasir Arrosyd mencoba mengangkat pembahasan
puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.
Sungguh,
puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan
dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ
يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ
عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan
ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau
mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi”
(HR. Muslim no. 1151).
Adapun
puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib.
Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali
Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1]
Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan
mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى
يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan
diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
1. Puasa Senin Kamis
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ
الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan
(pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan
sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih
dilihat dari jalur lainnya).
Dari
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”
(HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan
berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ
لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ،
وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2]
mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”(
HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah
bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ
نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ
أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah
menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada
hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari
apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan
Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun,
hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan
Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul
biid.[2]
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ
وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian
maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari
Abu Dzar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا
صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ
عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa
tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari
bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424.
Hasan)
3. Puasa Daud
Cara
melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ
صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ
نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا
وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling disukai
oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah
Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada
sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan
berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Dari
'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ
وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ
وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ
تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ
مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ
إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا
، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ
أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan
kabar kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah, sungguh aku akan
berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya ('Abdullah bin
'Amru): "Benarkah
kamu yang berkata; "Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh
aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab;
"Demi bapak
dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya".
Maka Beliau berkata: "Sungguh
kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan
berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam
setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang
serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun." Aku katakan;
"Sungguh aku
mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah". Beliau berkata:
"Kalau begitu
puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi:
"Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Beliau berkata:
"Kalau begitu
puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi
Allah Daud 'alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama".
Aku katakan lagi: "Sungguh
aku mampu yang lebih dari itu". Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih
utama dari itu". (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu
Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa
sehari tidak.”[3]
Ibnul
Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa
sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus
(setiap harinya).”[4]
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang
mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan
puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya.
Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu
agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti
dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah
sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ... Wallahul Muwaffiq.”[5]
4.
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ
يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam
lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ
كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa
hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang
dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya [6])
sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7] Para ulama
berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh
selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah
wajib.[8]
5.
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa
setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ
فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ
الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh
yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat
bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."
(HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no.
1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa
saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[9]
Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari
Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada
hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10],
...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa
‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy
berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim
no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan
puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ
الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman
susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
8.
Puasa ‘Asyura
Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama
setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
(HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini
merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan
Muharram.”[11]
Keutamaan
puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa
‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura
tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9
Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh
Ahlul Kitab.
Ibnu
Abbas radhiyallahu
’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa
hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu
ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Wahai Rasulullah, hari ini
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)-
kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan
dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah
setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal
yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan
sebelum fajar.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا
لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ
أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata,
"Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi
hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka
beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku
berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul
dalam Shahih Muslim,
“Bab: Bolehnya
melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal
(bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun
tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau
membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah
merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika
ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat
Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam
Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa
tersebut.[12]
Ketiga: Seorang istri tidak boleh
berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ
وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita
berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR.
Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An
Nawawi rahimahullah
menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa
sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan
dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para
ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan
dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi
gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa
diakhirkan.”[[13]]
Beliau rahimahullah
menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa.
Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa
bersenang-senang dengannya.”[14]
Semoga
Allah beri taufik untuk beramal sholih.
Penulis:
Ahmad Yasir Arrosyd
Artikel
www.ahmadyasir_arrosyd@yahoo.com
[1] Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun
1424 H.
[2] Hari ini disebut
dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14,
dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat
itu.
[3] Al Muhalla, Ibnu
Hazm, 7/13, Mawqi’ Ya’sub
[4] ‘Aunul Ma’bud, 5/303, Mawqi’ Al Islam
[5] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H
[6] Karena kadang kata
seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.
[7] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani,
4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi,
8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[9] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar
Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[10] Yang jadi patokan
di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[11] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 8/55.
[12] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 8/35.
[13] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 7/115.
[14] Idem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar